Saat Ujian Nasional Semakin Dekat
Beberapa waktu yang lalu, saat aku sedang baca-baca koran, hapeku berdering. Aku dapat sms. Ku buka. Nomor baru ternyata. “Assalamu’alaikum,,, Ini nomornya mbak Wiwi ya? Aku Eka anak kelas XII IPS. Gini Mbak, aku mau pinjam buku-buku paket SMAnya mbak Wiwi. Kami disuruh pinjam ke kakak kelas oleh Bu Muslimah. Jadi aku pinjam punyanya mbak Wiwi. Boleh nggak mbak?” begitu bunyi smsnya.
Eka siapa ya? Aku kurang begitu mengenal adik kelas yang bernama Eka. Aku memang hanya kenal beberapa nama adik kelas. Sebenarnya yang aku permasalahkan bukan Eka siapa. Tapi aku berpikir bahwa Eka dan kawan-kawan meminjam buku pada kakak kelas (salah satunya padaku) karena untuk persiapan menghadapi ujian nasional. Ya, ujian yang mungkin membuat hati berdebar-debar bagi kebanyakan orang.
Aku jadi teringat beberapa bulan yang lalu saat aku dan teman-teman akan menghadapi ujian nasional. Perasaan cemas, takut dan khawatir selalu menghantui kami. Seakan-akan kami menganggap ujian nasional adalah ujian hidup yang sebenarnya. Seolah-olah skami tak akan sukses jika gagal dalam pertarungan yang satu ini.
Hari demi hari kami disibukkan dengan penambahan jam mata pelajaran yang diujikan. Les setiap hari. Try out diberikan oleh guru sesering mungkin untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan kami. Bahkan beberapa diantara teman kami yang awalnya terkesan “mbeling” menjadi anak yang rajin belajar, rajin berangkat les dan rajin shalat. Yang pasti kami benar-benar merasa berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Kami yang sebelumnya malas sekali untuk datang ke sekolah pada hari minggu, kini justru berubah pikiran. Awalnya kami ingin pada hari minggu kami bersama-sama mengistirahatkan badan serta pikiran yang setiap hari dijejali dengan mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ekonomi, geografi dan sosiologi. Tapi karena semakin bertambah dekatnya detik-detik ujian nasional, kami memutuskan untuk belajar kelompok pada hari minggu.
“Lha terus tempatnya di mana?” tanya Eka Sri Budiastuti, cewek berambut hitam lurus itu.
“Di mana ya? Aku kok ndak enak ya kalo harus nunut di rumah temen.” jawab Yuni.
“Iya, aku juga nggak setuju. Takut ngrepotin yang punya rumah.” kataku.
“Yo wis, gimana nek di sekolah kita aja? Nanti biar aku minta ijin Pak Bawor untuk membuka pintu kelas kita. Insyaallah diperbolehkan,” Pras ngasih saran.
“Oke. Jam berapa kita kumpul?” tanyaku minta kesepakatan.
“Jam Sembilan udah harus di sini. Setuju nggak?”
“Setujuuuu”
Akhirnya sesuai kesepakatan, aku berangkat dari rumah 08.40 WIB. Cukup jalan kaki. Jarak rumahku dengan sekolah memang dekat. Hanya butuh waktu sekitar seperempat jam jalan kaki. Aku pikir, waktu lima menit yang tersisa bisa untuk siap-siap nanti.
Sampai di depan pintu gerbang sekolah, aku bertemu Yuni dan Ana. Kami bertiga bergegas menuju kelas XII IPS 1. Dari kejauhan, aku melihat Muhtasun sudah menunggu di sana. Kenapa dia belum masuk kelas? tanyaku dalam hati. Oh ternyata pintu masih terkunci. Kami menunggu teman yang lain. Satu persatu anak-anak kelas XII IPS 1 berdatangan. Akhirnya setelah Pras datang dan minta Pak Bawor membukakan pintu kelas, kami masuk.
“Cara belajarnya ini gimana?” tanya Mahfud.
“Ya udah, kita mengerjakan soal yang ada di buku paket masing-masing. Usahakan mengerjakan sendiri. Nanti kita bahas bareng-bareng.” Perintah Eka.
“Matematika dulu kan? tanya Pras.
“Iya,”
“Biar nanti tambah enak, setelah waktu selesai, siapa yang bisa mengerjakan nomor tertentu maju aja. Kerjakan di papan tulis. Nanti biar yang belum paham bisa minta dijelaskan.” saran Mahfud.
“Nanti kamu aja ya Wi, yang menjelaskan di depan. Kita kan belajar tanpa bimbingan dari guru. Kita harus belajar mandiri. Sekalian kamu belajar jadi guru. Katanya cita-cita kamu jadi guru kan?” Yuni menunjukku agar mau menjelaskan pada temen-teman.
“Waduh! Kok aku si?”
“Kamu kan yang paling pintar di sini. Oke kan, Bu Wiwi?”
“Yo Wis baiklah. kalo aku bisa, Insyaallah.” jawabku.
Belajar matematika pun kami mulai.
Sabtu, 08 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar